Aqiqah yang selama ini sudah sangat di kenal oleh massyarakat sebagai sebuah jaminan kepada sang bayi yang baru lahir sebagaimana dalam hadits:
Dari Yusuf bin Mahak bahwa mereka pernah masuk menemui Hafshah binti
‘Abdirrahman, lalu mereka bertanya kepadanya tentang aqiqah, maka dia
memberitahu mereka bahwa ‘Aisyah pernah memberitahunya bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan mereka untuk
menyembelih dua ekor kambing yang sama bagi anak laki-laki dan satu ekor
kambing bagi seorang anak perempuan. [HR. At-Tirmidzi, shahih]
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَنْسُكْ عَنْهُ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.
‘Barangsiapa yang hendak mengaqiqahi anaknya, maka hendaklah dia melakukannya. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan bagi seorang anak perempuan satu ekor kambing.’” [HR. An-Nasa’i, hasan]
Dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/101) melalui jalan al-Hasan dari Samurah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Seorang anak itu tertahan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.”
Hadits ini shahih. Dan al-Hasan telah mendengarnya dari Samurah. Imam al-Bukhari mengatakan: -sebagaimana dalam kitab Fathul Baari (IX/590)- Telah mengatakan kepadaku ‘Abdullah bin Abul Aswad, beliau berkata: Quraisy bin Anas memberitahu kami dari Habib bin asy-Syahid, dia berkata, Ibnu Sirin menyuruhku untuk bertanya kepada al-Hasan dari siapakah dia mendengar hadits tentang aqiqah. Lalu aku bertanya kepadanya, maka dia pun men-jawab, “Dari Samurah bin Jundub.”
Dan makna مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ adalah bahwa ia tertahan untuk memberi syafa’at kepada kedua orang tuanya. Menurut bahasa, kata ar-rahn berarti tertahan. Allah Ta’ala berfirman:
"Tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) atas apa yang telah diperbuatnya." [Al-Muddatstsir: 38]
Lahiriah hadits menunjukkan bahwa tertahan pada dirinya. Di mana ia terlarang dan tertahan dari kebaikan yang dikehendaki. Dan hal tersebut tidak mengharuskan dirinya akan diberikan hu-kuman di akhirat kelak, meskipun ia tertahan (dari memberi syafa’at) akibat tindakan kedua orang tuanya yang tidak mengaqiqahinya. Dan bisa juga seorang anak kehilangan kebaikan disebabkan oleh tindakan berlebihan dari kedua orang tuanya, meskipun bukan dari hasil perbuatannya. Sebagaimana pada saat bercampur, jika dilakukan dengan menyebut nama Allah, niscaya anaknya tidak akan dicelakakan oleh syaitan. Dan jika penyebutan nama Allah itu ditinggalkan, niscaya anak yang dilahirkannya tidak akan mendapatkan penjagaan tersebut. Dinukil dari kitab, Zaadul Ma’aad (II/325). Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ini pendapat milik Imam Ahmad.
Di dalam kitab al-Majmuu’ (VIII/406), Imam an-Nawawi mengatakan, “Aqiqah adalah sunnah. Yang dimaksudkan adalah penyembelihan kambing untuk anak yang dilahirkan. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Buraidah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma. Dan aqiqah sama sekali tidak wajib. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan ‘Abdurrahman bin Abi Sa’id dari ayahnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai aqiqah, maka beliau menjawab, ‘Allah tidak menyukai kedurhakaan. Dan orang yang dikaruniai seorang anak, lalu dia hendak (menyukai dalam) mengaqiqahi anaknya itu, maka hendaklah dia melakukannya.’
Dengan demikian, beliau telah menggantungkan hal tersebut pada kesukaran sehingga menunjukkan bahwa ia tidak wajib. Selain itu, karena hal itu merupakan bentuk penumpahan darah tanpa tindak kriminal dan tidak juga nadzar sehingga tidak wajib, sebagaimana halnya hukum kurban.” (Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah)
Waktu pengaqiqahan
Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها
“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang [dihitung dari Shubuh hingga Maghrib] pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam[dihitung dari Maghrib hingga Shubuh] yang jadi hitungan hari berikutnya.”[Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/11011, Mawqi’ Ahlalhdeeth].
Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.
Dalam hal ini terjadi du perbedaan pendapat ulama:
Madzhab yang pertama : Mengatakan bahwa menghitung jumlah tujuh hari itu
ialah dengan memasukkan hari kelahirannya sebagai hari pertama atau
dihitung satu hari.
Maka menurut madzhab pertama ini, apabila seorang anak lahir pada hari Ahad misalnya, baik lahirnya pada pagi hari sesudah fajar (shubuh) atau siang hari atau sore hari atau malam hari atau tengah malam sampai sebelum fajar hari Ahad malam Senin sama saja, maka cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Hari Ahad hari pertama (hari kelahiran)
2. Senin hari kedua
3. Selasa hari ketiga
4. Rabu hari keempat
5. Kamis hari kelima
6. Jum’at hari keenam
7. Sabtu hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah.
Sedangkan madzhab kedua : Tidak menghitung hari kelahiran sebagai hari pertama. Jadi cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Senin hari pertama
2. Selasa hari kedua
3. Rabu hari ketiga
4. Kamis hari keempat
5. Jum’at hari kelima
6. Sabtu hari keenam
7. Ahad hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah
Menurut ImamNawawi madzhab pertamalah yang benar sesuai dengan zhahirnya hadits yakni hadits Samurah bin Jundub, “Disembelih untuknya pada hari ketujuh”. Zhahirnya hari kelahiran dihitung satu hari sebagai hari pertama (Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 8 hal.431, Tuhfatul Maudud Bab VI Fasal 8).
Maka menurut madzhab pertama ini, apabila seorang anak lahir pada hari Ahad misalnya, baik lahirnya pada pagi hari sesudah fajar (shubuh) atau siang hari atau sore hari atau malam hari atau tengah malam sampai sebelum fajar hari Ahad malam Senin sama saja, maka cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Hari Ahad hari pertama (hari kelahiran)
2. Senin hari kedua
3. Selasa hari ketiga
4. Rabu hari keempat
5. Kamis hari kelima
6. Jum’at hari keenam
7. Sabtu hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah.
Sedangkan madzhab kedua : Tidak menghitung hari kelahiran sebagai hari pertama. Jadi cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Senin hari pertama
2. Selasa hari kedua
3. Rabu hari ketiga
4. Kamis hari keempat
5. Jum’at hari kelima
6. Sabtu hari keenam
7. Ahad hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah
Menurut ImamNawawi madzhab pertamalah yang benar sesuai dengan zhahirnya hadits yakni hadits Samurah bin Jundub, “Disembelih untuknya pada hari ketujuh”. Zhahirnya hari kelahiran dihitung satu hari sebagai hari pertama (Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 8 hal.431, Tuhfatul Maudud Bab VI Fasal 8).
Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?
Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari
kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan
biasa.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari
ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia
baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak
dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari
keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh
dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan
dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap
luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah
diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi,
maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi
dirinya sendiri (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11011).
Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.
Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu
sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini
berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat.
Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap
jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana
disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar.
Apakah Disunnahkan Aqiqah pada Bayi yang Keguguran?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya, “Seorang bayi yang dilahirkan dan ketika ia lahir langsung meninggal dunia, apakah diwajibkan baginya aqiqah?”
Beliau menjawab, “Jika bayi dilahirkan setelah bayi dalam kandungan
sempurna empat bulan, ia tetap diaqiqahi dan diberi nama. Karena bayi
yang telah mencapai empat bulan dalam kandungan sudah ditiupkan ruh dan
ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.” ( Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 2, no. 11 )
Dalam pertemuan yang lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika
seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti
diaqiqahi?”
Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran,
ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut
telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari
kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi
syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa
jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah.
Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi
anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum
hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang
dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka
hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia
tidaklah dipaksa.”
Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban
beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu
bila genap empat bulan dalam kandungan.” ( Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42 ) {Disalin dengan beberapa penambahan dari www.rumaysho.com }. Wallahu Ta'ala A'lam.
Syukron...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusberati Jika Anak Lahir Ahad jam 10.00 malam, diaqiqohi hari sabtu, karena terhitung hari ahad tersebut.
BalasHapus