Tahun delapan puluhan, dunia pendidikan Indonesia terhenyak
kelabu. Seakan tiada habis tanya, mengapa peristiwa itu terjadi. Namun
begitulah. Suratan takdir telah menorehkan peristiwa lain. Seorang bocah yang
belum menginjak usia baligh terkapar.
Tubuhnya lebam-lebam, sebagai pertanda dirinya telah dianiaya.
Bertubi siksaan, deraan dan pukulan mendarat di sekujur tubuhnya. Dalam
ketiadaan daya, dirinya cuma bisa merintih kesakitan. Lalu, iapun meninggalkan
alam fana ini. Apa salah bocah itu?
Konon, katanya ia telah mencuri. Atas tindakan bocah ini,
orangtuanya pun kalap. Kemarahan membakar hatinya. Maka terjadilah apa yang
terjadi. Episode kelabu ini menjadi noktah hitam dalam lembar riwayat dunia
pendidikan di Tanah Air.
Kekerasan terhadap anak, telah demikian banyak terjadi. Bahkan,
kekerasan yang terjadi tidak sedikit yang dilakukan secara tidak terukur.
Dorongan untuk melakukan kekerasan pada anak lebih dikarenakan situasi
emosional yang tidak stabil. Nafsu angkara menjadi mudah tersulut kala anak
bertindak salah. Struktur kejiwaan seperti ini, ibarat petasan, ia bersumbu
pendek. Sekali sulut, langsung meledak. Sekali anak melakukan perbuatan tak
berkenan, langsung amarahnya menggelegar. Marah telah menghilangkan kontrol
diri. Akibatnya, lisan tak terjaga, tindakan pun membabi buta. Kata Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu, “Sungguh marah itu tidak diragukan lagi
telah memberi pengaruh pada manusia, sehingga dirinya berperilaku (dengan)
perilaku seperti orang gila.” (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/925)
Berdasar hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي. قَالَ: لَا
تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لَا تَغْضَبْ
“Sesungguhnya seorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: ‘Nasihatilah aku.’ Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: ‘Janganlah kamu marah.’ Kalimat itu terus diulang-ulang.
Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Janganlah kamu marah’.”(Shahih
Al-Bukhari, no. 6116)
Kalimat لَا تَغْضَبْ (janganlah kamu marah), menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullahu, bermakna janganlah kamu menjadi orang
yang cepat marah, yang akan memengaruhimu pada setiap sesuatu. Tapi, jadilah
dirimu orang yang tenang, tidak cepat marah, karena sesungguhnya kemarahan itu
adalah bara api yang dilemparkan setan ke dalam hati manusia.
Dengan bara
api itu, mendidihlah hati seseorang. Karena ini pula, urat-urat leher dan
jaringan pembuluh darah menegang, mata pun memerah. Lalu seseorang melakukan
tindakan (agresivitas), setelah itu timbullah penyesalan.” (Syarhu Riyadhish
Shalihin, 1/925)
Tentu sebuah sikap bijak, bila mendapati orang yang tengah geram
dibakar angkara murka lalu menasihatinya. Nasihat nan bijak ini diharapkan
mampu meredam tindakan-tindakan yang bakal tak terkendali. Seperti melakukan
agresivitas; pemukulan atau tindakan sadistis lainnya yang tak patut dikenakan
pada anak-anak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi
contoh terbaik, bagaimana upaya meredam amarah yang tengah menggelegak pada
diri seseorang. Nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung
menembus pusat kesadaran. Sehingga, peristiwa pemukulan lantaran sikap amarah
berhasil dihentikan. Bahkan tak cuma di situ. Pada diri orang itu tumbuh
kesadaran untuk tidak lagi melakukan pemukulan terhadap budak miliknya
selama-lamanya. Ini merupakan revolusi perubahan sikap dan perilaku yang
mengarah kepada pembentukan akhlak yang mulia.
Meretas pendidikan bagi anak-anak sehingga mereka menjadi generasi
berakhlak mulia di masa sekarang ini tidaklah mudah. Berbagai kendala
menghadang. Serbuan budaya kekerasan dan sadisme senantiasa mewarnai kehidupan
sehari-hari. Aksi-aksi kekerasan dipertontonkan secara vulgar di hadapan
anak-anak. Melalui kemampuan meniru yang kuat, seorang anak akan dengan mudah
merekam dan menirukan apa yang dilihat dan dirasakannya. Lambat laun budaya itu
terserap, mengkristal dalam jiwa anak dan terbentuklah kepribadian anak yang
kasar, bengis, beringas, vandalis (suka merusak dengan ganas), dan pemarah.
Anak menjadi ringan tangan untuk menyakiti teman-temannya, atau bahkan adiknya
sendiri. Satu hal yang sangat ironis sekali, manakala kepribadian tanpa rahmah
ini justru terbentuk pada diri anak melalui sikap-sikap yang diperlihatkan
orangtua atau gurunya.
Pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang yang bernama
Al-Aqra’ bin Habis. Dia seorang ayah yang memiliki sepuluh anak. Satu hari, dia
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan, cucu
beliau. Lantas Al-Aqra’ bin Habis berucap, “Sungguh, aku memiliki sepuluh anak.
Tak satupun dari mereka yang pernah aku cium.” Menimpali ucapan ini, Rasulullah
Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ
مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ
“Sesungguhnya
siapa yang tak menyayangi, dia tak akan disayangi.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
مَنْ
لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Siapa yang tak menyayangi orang lain, Allah tak akan
menyayanginya.” (Kisah ini merujuk pada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dan Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih
Muslim no. 2318 dan 2319)
Hadits di atas memberikan tekanan yang sangat kuat bahwa keluarga
atau komunitas terdekat anak berperan dalam menumbuhkan kepribadian anak yang
rahmah. Sarat kelembutan, bertabur kasih sayang. Sulit dan sangat sulit sekali,
membangun rumah menjadi istana nan padat kelembutan bila masing-masing anggota
keluarga tiada berkepribadian yang rahmah.
Kekerasan, pertengkaran, caci maki, dan dendam kesumat menjadi
menu santapan sehari-hari. Maka, kisah di atas memberikan semangat guna melabur
kasih kepada anak-anak dan selainnya. Salah satu dari sekian banyak ekspresi
untuk ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak adalah dengan menciumnya.
Inilah dasar pembentukan watak, karakter anak. Inilah manhaj yang sangat
bersifat asasi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmah bagi semesta alam.”
(Al-Anbiya`: 107)
Karenanya,
hendaklah bagi kita bila berdakwah, menyeru pada perkara yang
ma’ruf dan mencegah perkara yang mungkar dilakukan dengan cara yang lemah
lembut. Sesungguhnya cara yang lembut akan membuahkan kebaikan. Sebaliknya,
cara yang kasar dan galak, bakal membuahkan kejelekan. (Syarhu
Riyadhish Shalihin, 1/921)
Bagaimana bila dikaitkan dengan dunia pendidikan? Tentu pada hakikatnya
sama antara dunia dakwah dengan dunia pendidikan. Karenanya, bagi para
orangtua, pendidik, pengasuh, dan semua kalangan yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan hendaknya bisa mengedepankan sikap lemah lembut ini. Tidak
mengedepankan aksi kekerasan, mudah mengayunkan tongkat atau alat pemukul ke
tubuh anak didik. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lemah Lembut dan menyukai
kelemahlembutan dalam seluruh perkara.” (Shahih Al-Bukhari no. 6927 dan Shahih
Muslim no. 2165)
Juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
مَا ضَرَبَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً
وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya. Tidak terhadap istri,
juga terhadap pelayan. Kecuali saat jihad di jalan Allah.” (Shahih Muslim,
no. 2328)
Menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, yang dimaksud
hadits itu yaitu memukul istri, pelayan, hewan; dan jika (memukul sesuatu) yang
dibolehkan maka dilandasi dengan adab (aturan). Namun, meninggalkannya (yakni
tidak memukul, pen.) itu lebih utama. (Al-Minhaj, 15/84)
Karenanya, penting sekali bagi seorang pendidik untuk memiliki
sifat al-hilm, at-ta`anni, dan ar-rifq. Yang dimaksud al-hilm,
menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu,
adalah seseorang yang mampu mengendalikan diri ketika marah. Sedangkan at-ta`anni
yaitu bersikap tenang dalam menghadapi masalah yang ada. Tidak tergesa-gesa
(dalam menyikapi perkara). Adapun ar-rifq, yaitu dalam bergaul dengan
sesama manusia yang didasari kelemahlembutan dan merendah. (Syarh Riyadhish
Shalihin, 1/914)
Maka, seseorang yang tidak memiliki sifat al-hilm, dirinya
akan senantiasa hanyut oleh gelombang kemarahannya. Pikiran jernihnya pupus
disapu nafsu angkara murka yang telah merebak dalam dirinya. Sehingga, yang
selalu dikedepankan oleh dirinya adalah ‘ilmu kekuatan’ (memukul, mencambuk,
dan yang sejenisnya), bukan kekuatan ilmu (nasihat, bimbingan, arahan, dan
sejenisnya). Begitu pula dengan sifat at-ta`anni dan ar-rifq.
Tanpa memiliki sifat tersebut, seseorang akan tergesa-gesa dalam memutuskan
suatu perkara tanpa mau secara bijak menyelami hakikat masalah yang ada pada
anak. Ini sering terjadi terkait dalam penerapan sanksi atau hukuman pada anak.
Karenanya, penting sekali memahami keadaan anak disertai sifat al-hilm, at-ta`anni,
dan ar-rifq.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ
سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:
‘Ini jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku bukan termasuk
orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Pengertian بَصِيْرَةٍ pada ayat tersebut adalah ilmu. Yang dimaksud di sini bukan semata
ilmu syar’i, namun meliputi pula keadaan mad’u (obyek dakwah) dan ilmu
yang mengantarkan kepada tujuan, yaitu al-hikmah. Maka harus
dimiliki, bashirah (ilmu) tentang hukum syar’i, bashirah (ilmu)
berkenaan dengan keadaan obyek dakwah, dan bashirah (ilmu)
terhadap jalan yang mengantarkan kepada hakikat dakwah. Ini selaras dengan
apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhu saat hendak diutus ke Yaman:
إِنَّكَ
سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya
engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab.” (Shahih Al-Bukhari,
no. 4347, hadits dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma Lihat Al-Qaulul
Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu,
hal. 119)
Itu berarti, saat mendidik anak, selain memiliki bekal pemahaman
agama, seseorang harus pula memahami kondisi anak. Juga tentunya, bagaimana
harus memperlakukan anak tersebut. Sehingga dengan kepribadian nan penuh
rahmah, dengan memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan
rumah, pesantren dan tempat lainnya sebagai istana kelembutan, bukanlah sesuatu
yang mustahil. Dari sanalah lahir insan berilmu dan memiliki adab nan luhur.
Wallahu a’lam. (sumber: sebuah tulisan di situs As-Syariah oleh Al-Ustadz
Abulfaruq Ayip Syafrudin dengan sedikit perubahan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar