Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan
mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan
tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi
rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah
tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah
menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih
besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?
Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada
resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita
berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak
pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata
segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera
melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa
resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina).
Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.
Saya sering ngobrol, dengan kawan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu
untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak
berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal
terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain
sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera
menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan
yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.
Menikah itu Fitrah
Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan
segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada
siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya
sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah
tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan
mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida
lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan
kami itu. (Al-Isra: 77)
Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi
bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan
dan keterkaitan dengan sistem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.
Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan
pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya
sendiri. Mengapa? Sebab, Allah Allah Subhanahu wata’ala telah membekali
masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut.
Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.
Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan
menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara
yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk
menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang
telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan
bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.
Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan
tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa
berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan
kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa
rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya
semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan,
yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab
itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut.
Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari
daripada bimbingan Allah.
Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya
hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah
perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32).
Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram,
apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup
bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.
Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah.
Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak
saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya
kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya
ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena
merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.
Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan
sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika
semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman
yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak
normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh
syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”
Menikah Itu Ibadah
Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat
pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini
menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti
kekusaan Allah Subhanahu wata’ala. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah
sholallohu ‘alaihi wassalam. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah,
“Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka
hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi,
hadits Hasan)
Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk
dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri
dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan
menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati
perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan
atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan
menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari
dosa daripada mereka yang belum menikah.
Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya
sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri
bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan
ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah
shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan
selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun
juga ibadah.
Antara Pernikahan
dan Penghasilan
Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.
Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.
Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.
Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.
Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.
Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.
Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.
Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.
Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.
Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.
Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.
Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.
Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.
Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.
Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.
Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.
Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.
Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.
Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.
Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.
Bismilahirohmanirohim
Truntuk
:
“calon
istriku yang
kucintai
karena Alloh”
Assalamu ‘alaykum warohmatullohi wabarokatuh
Calon istriku yang kucintai karena Alloh,,,
Bagaimana kabar hatimu hari ini?? Aku slalu
berharap slalu ada keimanan pada dirimu, aku juga slalu berharap enkau
snantiasa berhias dengan rasa malu, karena malu adalah sebagian dari keimanan.
Calon istriku yang kucintai karena Alloh,,,,,,
Kemuliaanmu bukan terletak pada kecantikanmu,
bukan pada hartamu bukan karna nasabmu, bukan itu wahai saudariku. Sungguh
tidak ada kemuliaan bagi kita di dunia ini kecuali dan hanya dengan islam. Tlah
brkata shohabiyun jalil ’Umar ibnul khothob rodhiyallohu ’anhu :”kami adalah
kaum yang dimuliakan dengan islam maka barang siapa encari kemuliaan selain
dengan islam Alloh akan menghinakannya”.
Calon istriku yang baik,,,,
Mahalkanlah dirimu, kutengok pada kehidupan kita
kita berada di zaman yang menunjukan ayam lebih mahal dari pada seorang
perempuan, betapa tidak!?? ketika seorang tetangga dikampungku bingung ketika
maghrib menjelang, mereka mencari ayam piaraannya yang belom pulang ke
kandangnya, tapi ketika anak-anak gadis mereka pergi hingga larut malam mereka
tak bingung mencari-cari, bagaimana tidak murah seorang perempuan itu, ketika
berjalan diluaran sana kita dapati banyak banyak paha-paha perempuan dibukanya
supaya kelihatan dan berkeliaran sampai-sampai tidak ada tempat yang luput dari
pemandangan itu kcuali satu tempat yaitu masjid, tapi adakah kita melihat paha
ayam berkeliaran dan dia hidup???tidak!!!! sungguh tidak!!! karna ayam lebih
mengorbankan nyawa daripada apa yang seharusnya tertutupi terlihat oleh orang.
Maka mahalkan dirimu wahai calon istriku sehingga dirimu menjadi mulia.
Wahai calon istriku yang baik,,,
Bergaullah dengan siapa saja yang kau sukai (dari
kalangan wanita saja) tapi bertemanlah degan wanita sholihah saja!! Karena
dengannya enkau akan bisa dinilai baik buruknya agamamu, jikalau enkau ingin
berbau wangi maka bertmanlah dengan penjual minyak wangi, itulah gambaran yang
di berikan oleh Rosul kita Muhammad sholallohu ‘alayhi wassalam. Kehidupan ini
adalah kerugian pada hakikatnya kecuali orang-orang yang beriman dan beramal
sholih serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Wahai calon istriku …….
Kutulis nasehat ini karena aku mencintaimu karena
Alloh, kuingin tuliskan nasehat yang lbih panjang tapi aku sadar bahwa aku
adalah orang yang pantas untuk lebih banyak menerima nasehat, cukuplah bagimu
belajar agama yang bisa menuntunmu, ilmu yang berguna bagimu, ilmu yang bisa
menjadi penasehatmu,
Wahai calon istriku tiadalah kata terucap
dari lisanku kecuali kuminta luasnya maapmu. (mistorotun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar